I.
DASAR HUKUM :
1.
Undang-undang Nomor 1/Pnps/1962 tentang
Pembentukan Propinsi Irian Barat;
2.
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1969 tentang
Pembentukan Propinsi Otonom Irian
Barat
dan Kabupaten-kabupaten Otonom di Propinsi Irian Barat (Lembaran Negara
Republik
Indonesia Tahun 1969 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2907)
3.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor XV/MPR/1998
4.
tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah,
Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan,
serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
5.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara
Tahun 1999-2004;
6.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan
Peraturan Perundang undangan;
7.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan
Otonomi Daerah;
8.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan
Nasional;
9.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor VIII/MPR/2000 tentang Laporan Tahunan Lembaga-Lembaga
Tinggi Negara pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Tahun 2000
10.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 135, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4151);
11.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437),sebagaimana
telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
12. Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4151) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2008 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4884);
13. Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 8
Tahun 2014 Tentang Penanganan Khusus Terhadap Komunitas Adat Terpencil
14. Peraturan Gubernur Papua Nomor 9 Tahun 2014 Tentang Tata Cara Pemberian
Pertimbangan gubernur Terhadap
perjanjian Internasional.
15. Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 10
Tahun 2014 Tentang Program Strategis Pembangunan Ekonomi Dan Kelembagaan Kampung
16. Peraturan
Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor
6 Tahun 2014 Tentang Keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat
Papua Yang Ditetapkan Melalui Mekanisme Pengangkatan Periode 2014 -2019
17. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53
Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 694);
II.TUGAS DASAR DPR PAPUA/DPRD ADA TIGA TUGAS POKOK YAITU:
1. FUNGSI LEGISLASI
2. FUNGSI ANGGARAN
3. FUNGSI PENGAWASAN
III.MOTO TUJUAN CALON DPRP PROVINSI
PAPUA:
“ALAMKU, RAKYATKU & TUBUHKU, HATIKU”
( MOTO INI MEMPUNYAI ARTI KHUSUS YAITU:)
1)
ALAMKU : Kekayaan Alam Yang
Terkandung Dalam Tanah Pulau Papua
2)
RAKYATKU : Milik Rakyat Papua
3)
TUBUHKU : Semua Orang Yang Mendiami Ditanah Papua
Yang Lebih
Khusus Orang Asli Papua (OAP), Mendapat Perhatian Yang
Lebih Prioritas
4)
HATIKU : Tugas Dan Tanggung Jawab Adalah Harga
Jati Diri SAYA.
IV.VISI DAN MISI
“VISI”
1) MENORMALISASIKAN PERDASI DAN PERDASUS
BERSAMA GUBERNUR PROVINSI PAPUA
2) MELAHIRKAN SEBUAH SIKAP, PRINSIP DALAM
PENENTUAN NASIP ORANG ASLI PAPUA
3) SIAP KERJA SAMA DENGAN BERBAGAI TOKOH
MASYARAKAT ADAT MEEPAGO DAN TANAH PULAU PAPUA.
4) SIAP MELANJUTKAN ASPIRASI MASYARAKAT
ORANG ASLI PAPUA (OAP) DALAM PENETAPAN PERDASI/PERDASUS BERSAMA GUBERNUR.
“MISI”
1. MEMPRIORITASKAN SUKU-SUKU DAN KELOMPOK
MINORITAS KAUM ORANG ASLI PAPUA:
1) MENJADI CALON GUBERNUR DAN WAKIL
GUBERNUR
2) MENJADI CALON BUPATI WAKIL BUPATI DAN
WALIKOTA/WAKIL WALIKOTA
3) MENJADI CALON DPRP RI, DPRP PROVINSI
PAPUA DPD RI, DPD PROVINSI PAPUA
4) MENJADI CALON DPRD KABUPATEN / DPR KOTA
5) MENJADI CALON KETUA PARTAI DPD,DPW DAN
DPC SEMUA PARTAI POLITIK DI TANAH PAPUA.
6) MEMBANGUN TRANSMIGRASI LOKAL ORANG ASLI
PAPUA(OAP)DI SELURUH WILAYAH TANAH PAPUA.
7) MENYIAPKAN MASYARAKAT ORANG ASLI PAPUA(
OAP)DALAM INVESTASI KONSERVASI DALAM WILAYAH OPERASI.
8) MELIBATKAN MASYARAKAT ORANG ASLI PAPUA
KEPADA INVESTOR INVESTASI DAN
HARUS ADA PEMBAGIAN PERSEN DENGAN PEMILIK WILAYAH ATAU DUSUN MELALUI
KESEPAKATAN DI TIKAR ADAT.
IV. 8.POKOK PERANG DAN FUNGSI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DPRP
PROVINSI PAPUA DALAM MEWUJUTDKAN PERLINDUNGAN HAK- HAK MASYARAKAT ADAT KHUSUS
ORANG ASLI PAPUA.
1) PERSPEKTIF POLITIK.
2) PERPEKTIF KEAMANAN.
3) PERPEKTIF HUKUM DAN PELANGARAN HAM.
4) PERSPEKTIF PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN.
5) PERSPEKTIF EKONOMI DAN LINGKUNGAN HUDUP.
6) PERSPEKTIF KESEHATAN.
7) PERSPEKTIF PENDIDIKAN.
8) PERSPEKTIF KEBUDAYAAN.
V. PENJELASAN POIN-POIN PERAN DAN FUNGSI 14 KURSI DPRP AMANAT OTSUS DALAM INDIKATOR PAPUA TANAH DAMAI MENUJU MANDIRI DAN SEJAHTERA DI SELURUH
WILAYAH TANAH PAPUA.
I.INDIKATOR
A.INDIKSTOR POLITIK
1) Orang Asli Papua mempunyai rasa aman tenteram diatas
tanahnya sendiri.
2) Setiap Komunitas adat merasa bertanggung jawab atas
wilayah Adatnya Masing-masing.
3) Presiden RI dan Orang Papua Mempunyai pemahaman yang sama
tentang Sejarah politik di Tanah Pulau Papua.
4) Adanya Pemilihan Kepala Daerah PILGUB dan PILKADA sesuai
dengan Perundang – undangan Otsus Nomor 21 Tahun 2001.
5)
Terselesaikannya akar masalah Papua secara tuntas dan menyeluruh dengan
cara yang bermartabat.
B. INDIKATOR HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
1) Negara mengakui Orang Asli Papua, termasuk perempuan dan
anak, sebagai manusia ciptaan Allah diatas Tanah Pulau Papua.
2) Penghargaan dan pengormatan hak dasar ekonomi social budaya
masyarakat diatas Tanah Pulau Papua.
3) Masyarakat Adat memperoleh informasi yang secukupnya
sebelum investasi dan proyek mulai dilaksanakan.
4) Adanya perlindungan terhadap human security dari setiap
penduduk Papua.
5)
Semua masyarakat sipil memperoleh akses untuk kemana saja dengan bebas dan
tenang.
C. INDIKATOR KEAMANAN
1) Masyarakat merasa aman dan bebas dimana saja berada dalam
menjalankan aktivitas sehari-hari.
2) Kesejahteraan hidup dari aparat keamanan terjamin
diseluruh pelosok Tanah Pulau Papua.
D. INDIKATOR PENYELENGARAAN PEMERINTAHAN
1) DPRP, DPRD Gubernur dan Wakil Gubernur serta Bupati dan
Wakil Bupati Kepala Distrik Kepalah Kampung Harus Orang Asli Papua.
2) SKPD dalam posisi teknisi diDinas Pendidikan dan Dinas
Kesehatan harus Orang Asli Papua.
3) Keberhasilan dari satu orang asli Papua di akui dan
diterimah sebagai kesuksesan dari semua suku di Papua.
4) Kepentingan umum sebagai tujuan dan kriteria utama bagi
semua kebijakan Negara di Tanah Papua.
5) Papua yang damai mandiri dan sejahtera sebagai visi
bersama dan Platform pembangunan di Tanah Pulau Papua.
E.
INDIKATOR EKONOMI DAN LINGKUNGAN HIDUP
1) Adanya harmonisasi konsep ekonomi tradisional dengan
ekonomi pasar basis lingkungan ( ekosistem manusia dan alam).
2) Adanya pengakuan Negara terhadap hak ulayat masyarakat
adat atas Tanah diatas Tanah pulau Papua.
3)
Adanya Pemetaan wilayah hak hukum adat ditanah Pulau Papua.
4) Adanya Pengolaan dan pemanfaatan wilayah adat dan potensi
suberdaya. Alam yang sesuai dengan kesepakatan kerja sama masyarakat adat di
atas tanah Pulau Papua.
5) Adanya Partisipasi masyarakat adat dalam mengkonsumsi
pangan local sebagai bagian dari ketahanan pangan.
6) Masyarakat adat harus sejahtera atas imbalan hasil Biji
Emas Murni dan Tambang Tembaga yang di ambil secara Ilegal Oleh PT.Freeport di Tanah
Pulau Papua.
F.
INDIKATOR KESEHATAN
1) Hidup sehat terpenuhi
2) Masyarakat menikmati makanan bergizi
3) Tersedianya sarana dan prasarana kesehatan.
4) Tersedianya tenaga medis di layanan kesehatan .
5) Terpenuhinya Informasi tentang kesehatan.
6) Keselamatan tenaga kesehatan terjamin.
7) Terkendali angka HIV dan Malaria di Papua.
8) Adanya Hak Paten Pengobatan Tradisional Papua.
9) Semua Pasien dilayani tanpa diskriminasi.
10) Terdeteksinya jenis-jenis penyakit yang didominan di
Papua.
11) Terbangunnya kesadaran terhadap kampanye bahaya HIV/AIDS.
G.
INDIKATOR PENDIDIKAN
1) Setiap warga Papua bisa membaca, menulis, dan menghitung
2) Setiap warga Papua memperoleh pelayanan Pendidikan yang
layak.
3) Terselenggaranya model pendidikan khusus Berbasis budaya
Papua.
4) Proses Pendidikan dan kegiatan belajar mengajar
berlangsung normal.
H.
INDIKATOR KEBUDAYAAN
1) Orang asli Papua merasa hak-hak dasar social budaya
termasuk adat istiadat serta norma-noma diakui, dihormati dan dihargai.
2) Orang Asli Tanah Pulau Papua merasa dan mengekspresikan
budayanya secara bebas.
3) Adanya hubungan yang harmonis dan dalam kebudayaan secara
holistic, terutama antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam
sekitarnya dan manusia dengan leluhur yang diungkapkan melalui mitos-mitos,
cerita rakyat,kesenian dan sebagainya.
4) Pengakuan keberadaan identitas dan jati diri manusia dan
kebudayaan Papua setara dengan manusia dan kebudayaan belahan dunia lain.
5) Masyarakat tinggal dalam suatu kesatuan system struktur
wilayah adat.
6) Sistem Pemerintahan adat diPapua yang hidup, diakui dan
dihormati oleh seluruh masyarakat Papua.
7) Masyarakat adat Papua merasakan bahwa struktur adat
teritorial
II.
MASALAH
A. MASALAH POLITIK
1)
Dominasi
militer di Papua yang memperlihatkan bahwa Papua di perlakukan sebagai daerah
taklukan, daerah operasi militer.
2)
Papua
sarat dengan kepentingan politik dan
militer.
3)
Adanya
perbedaan tafsiran tentang masalah integrasi Papua kedalam Republik Indonesia.
4)
Papua
Menjadi Opjek Negara kesatuan repubik Indonesia (NKRI).
5)
Adanya
pertentangan antara Ideologi Pancasila dan Ideologi Papua Merdeka.
6)
Adanya
Pembunuhan di antara orang Papua, yang di duga di pengaruhi oleh keterlibatan
pihak pihak yang berkuasa.
7)
Adanya
kelompok-kelompok milisi yang di buat atau di dukung oleh Pemerintah.
8)
Kebijakan
tentang Papua yang di tetapkan secara sepihak oleh pemerintah tanpa melalui
konsultasi dengan masyarakat, termasuk Tentara Pembebasan Nasional/ Organisasi
Papua Merdeka( TPN/OPM).
9)
Kebijakan
Otonomi Khusus (otsus) Merupakan kompromi Politik tapi bukan hasil kesepakatan
rakyat dan pemerintah Indonesia.
10)
Orang
Papua tidak di libat saat memasukkan Papua kedalam Negara kesatuan Republik In
donesia.(NKRI)
11)
Soal
utama yang harus di tuntaskan adalah satus politik Papua.
12)
Pertentangan
antara NKRI Harga mati dan papua merdeka harga mati,menyebabkan jatunya banyak
korbang,banyak pihak anggota masyarakat sipil,maupun anggota porli dan TNI.
13)
Adanya
penempatan Pasukan Militer secara berlebihan dan di lakukannya opersi militer
di papua
14)
Adanya dugaan penjualan dan peredaran senjata oleh
aparat keamanan Indonesia kepada masyarakat yang memicu aksi kekerasan.
15)
Menyederhanakan
persoalan Papua seperti persoalan di ACE.
16)
Pengabaian
atas keaneka ragaman sosial budaya masyarakat Papua.
17)
Univikasi
hukum menghancurkan tatanan hukum di Papua.
B.
PERSPEKTIF MASALAH
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA(HAM)
1)
Ditutupnya
akses untuk masyarakat sipil di wilayah pedalaman.
2)
Adanya
stigmatisasi, diskriminasi, dan penghinaan terhadap Orang Asli Papua.
3)
Proyek
MIFEE di Merauke dilakukan tanpa dibekali dengan regulasi yang kuat
dan adil sehingga menimbulkan banyak konflik antara masyarakat dan investor.
4)
Penambahan
pasukan semakin memperlebar peluan
terjadinya Pelanggaran Hak Asasi Manusia
(HAM)
5)
Beberapa
kasus Pelanggaran HAM Tidak pernah
selesaikan secara adil oleh Pemerintah.
6)
Masih
adanya Budaya imunitas terhadap aparat Negara yang melakukan
pelanggaran HAM.
7)
Masih
diadilinya aparat militer pada pengadilan militer menimbulkan kebal hukum dan
tidak dapat di pantau oleh masyarakat/ korban secara terbuka.
8)
Adanya
diskriminasi kasus antara pelaku yang
orang asli Papua dan Negara, kasus maker selalu terbukti, di jatukan vonis.
9)
Moralitas
aparat penegak hukum kurang bagus.
10)
Belum
adanya kewenangan yustisia (Penyelidikan di komnas HAM).
11)
Dominasi
pelaku Pelangaran HAM Papua oleh TNI dan Porli.
12)
Masih
terjadi kekerasan seksual terhadap perempuan Papua.
13)
Masyarakat
yang diberi stigma separatis tidak di berikan dan respek karena label
separatis.
14)
Penanganan
kasus korupsi di Papua masih belum di
laksanakan secara maksimal.
15)
Kebebasan
ekpresi di Papua tidak di buka seluas – luasnya.
16)
Dalam
undang – undang otonomi khusus tidak ada pasal yang mengatur tentang masyarakat
adat.
17)
Lemahnya
akademisi yang membantu proses legislasi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPRP).
18)
Adanya
perbedaan yuridiksi dalam konteks budaya melayu dan budaya Papua.
C.
MASALAH PERSPEKTIF KEAMANAN
1)
Masyarakat
merasa tidak aman dan tidak dapat melakukan aktivitas dengan tenan karena
operasi militer yang terjadi sejak lama.
2)
Ada
penambahan pasukan yang berlebihan di daerah pedalaman.
3)
Penempatan
pos-pos militer di tengah perkampungan.
4)
Kehadiran
aparat militer yang berlebihan dan penggunaan fasilitas militer di ruang public
menimbulkan terror terhadap penduduk terutama Orang Asli Papua.
5)
Papua
sebagai daerah pembantaian dan daerah pembuangan.
D.
MASALAH PERSPEKTIF PENYELENGARAAN PEMERINTAHAN
1)
Dualime
konsep Negara kepulauan dan daratan.
2)
Konsep
wawasan nusantara dan system pertahanan keamanan semesta.
3)
Lemahnya
komitmen aparat pemerintah sipil.
4)
Tidak
ada perubahan yang signifikan meskipun terjadi pergantian pemerintahan.
5)
Kecenderungan
kurangnya persentase Orang Asli Papua di parlemen daerah pusat.
6)
Adanya
konflik dalam masyarakat berkaitan dengan pilkada.
E.
MASALAH EKONOMI DAN LINGKUNGAN HIDUP
1)
Konsep
Pengembangan Ekonomi dan Lingkungan ( Optimalisasi Sumber Daya Alam)
a)
Belum adanya perbedaan konsep ideology
dalam pengembangan dan konsep pengembangan ekonomi dan lingkungan hidup.
b)
Pengembangan ekonomi bersasaran dalam
focus pengembangan ekonomi dan lingkungan hidup belum tepat sasaran ( ekonomi
untuk siapa dan berbasis lingkungan hidup).
c)
Masih ada benturan antara konsep ekonomi
tradisional pertukaran dan konsep ekonomi dan lingkungan hidup modern.
d)
Adanya stikma bahwa Orang Asli Papua
tidak mampu mengembangkan ekonomi dan melindungi lingkungan hidup.
e)
Adanya lompatan dari ekonomi tradisional
ke ekonomi modern
f)
Belum ada pendekatan ekonomi yang sesuai
dengan konteks ekonomi setempat.
g)
Belim terbiasa dengan kebiasaan
kebiasaan hidup secara terencana.
h)
Belum ada pengemban ekonomi yang
berbasis professional dan skil.
i)
Adanya perbedaan pemahaman tentang etos
kerja bagi orang barat dan orang asli Papua.
j)
Belum ada pemetaan konsep ekonomi
seluruh wilayah atau suku Papua.
k)
Belum ada kebijakan afirmasi untuk
strategi dalam pengembangan konsep ekonomi.
l)
Adanya konflik lahan atau tanah (
konflik kepemilikan ) antara rakyat dan investor.
2)
Regulasih
terkait dengan pengembangan ekonomi dan lingkungan
a)
Inkonsistensi dalam pelaksanaan regulasi
yang terkait dalam UU No.41/UU No 21 thn 2001 tentang Otonomi Khusus untuk
Provinsi Papua, Regulasi hak-hak ulayat masyarakat dalam Undang-Undang No.5/60
tentang lingkungan hidup dan peraturan lainnya.
b)
Inkonsistensi dalam pelaksanaan regulasi
tentang dana bagi hasil sumber Daya Alam ( UU No.21/2005).
c)
Inkonsistensi Pemerintah daerah Dalam
pelaksanaan regulasi /perundan-undangan yang terkait.
d)
Belum ada konsep ekonomi hijau dan
kreatif.
3)
Kelembagaan
Koordinasi dalam pengembangan berbagai masalah ekonomi dan lingkungan.
a)
Penyamaan persepsi antara
kelembagaan/instansi terkait dengan ekonomi dan lingkungan hidup belum tercapai.
b)
Belum melakukan sosialisasi
kebijakan/instansi terkait dengan ekonomi dan lingkungan hidup.
4)
Kepemilikan
lahan dan Sumber daya alam dalam pemanfaatan ekonomi dan lingkungan hidup.
a)
Belum ada pemetaan batas wilayah potensi
sumberdaya alam terhadap hukum adat terkait ekonomi dan lingkungan hidup.
b)
Belum ada pengakuan dan penghormatan
wilayah hukum adat masyarakat terkait ekonomi dan lingkungan hidup.
c)
Komunikasi antar pemilik dan pelaku
ekonomi dalam pemanfaatan ekonomi dan lingkungan hidup belum terbangun
d)
Belum ada pengembagan kerja sama antar
masyarakat dan pelaku ekonomi dengan menghormati hak milik masyarakat adat
dalam pengelolaan ekonomi dan lingkungan hidup.
e)
Belum ada pemanfaatan wilayah setempat
hukum adat sesuai dengan kesepakatan untuk kepentingan ekonomi dan lingkungan
hidup.
5)
Kemitraan
dalam pengembangan Ekonomi dan lingkungan lintas.
a)
Belum ada pengembangan kemitraan yang
terdiri dari: Pemerintah ( pusat, daerah) swasta, donor dll, terkait
pemanfaatan ekonomi dan lingkungan.
b)
Belum ada pengembangan konsep kemitraan
antara para pihak dalam dan melalui
pemanfaatan ekonomi dan lingkungan hidup (focus kode etik/ aturan, ukuran,
sasaran program, waktu dan implementasi).
c)
Belum ada pembagian perang dan
kontribusi intansi terkait dalam pengelolahan ekonomi dan lingkungan hidup.
d)
Belum ada monitoring dan evaluasi pelaku
kemitraan antara pihak-pihak terkait.
6)
PERSPEKTIF
MASALAH KESEHATAN:
a)
Lemahnya pelayanan kesehatan pagi
masyarakat.
b)
Asupan gizi bagi ibu hamil dan anak
masih rendah.
c)
Sarana dan prasarana belum memadai.
d)
Minimnya tenaga medis dilayanan
kesehatan.
e)
Informasi kesehatan tidak sampai kepada
masyarakat di kampung-kampung.
f)
Belum ada jaminan keselamatan petugas
kesehatan dilapangan.
g)
Belum ada sosialisasi tentang pencegaan.
G. PERSPEKTIF MASALAH PENDIDIKAN
1)
Kurikulum pendidikan di Papua belum
menyentu nilai - nilai budaya Papua.
2)
Sekalipun Papua berstatus otonomi khusus
tetapi tidak mempunyai kurikulum Khusus.
3)
Sebagian besar guru di Papua tidak
memiliki kompetensi akademik yang memadai dan memahami secara baik mentalitas
budaya Papua.
4)
Penyebaran guru yang tidak merata antara
kota, pesisir, pedalaman dan daerah
terisolir karena terkonsentrasi di kota.
5)
Adanya penyeragaman model pendidikan di
Papua.
6)
Belum ada regulasi daerah yang mengatur
sistem pendidikan khusus di Papua.
7)
Banyak guru – guru yang pindah ke
jabatan structural sehingga jumlah tenaga guru semakin berkurang.
8)
Penggunaan dana Bantuan Operasional
Sekolah (BOS) tidak jelas maka perlu ada pengawasan terhadap penggunaannya.
H. PERSPEKTIF MASALAH KEBUDAYAAN
1)
Hak – hak dasar social budaya Orang Asli
Papua di injak – injak dan diabaikan bahkan tidak dihargai dan diakui oleh
karena kebijakan dalam proses pembangunan.
2)
Norma-norma adat yang dipandang sebagai
nilai-nilai adat istiadat Orang Papua belum di kembangkan dan dilestarikan
secara utuh dan bulat.
3)
Adat istiadat, norma – norma orang asli
Papua dianggap sebagai hambatan pembangunan, menjijikan, primitif, dan sebagai
tanda keterbelakangan.
4)
Belum ada regulasi (perdasus) tentang
hak-hak dasar masyarakat Papua.
5)
Superioritas budaya luar yang
menyubordinasikan budaya Papua.
6)
Perusakan dan penghancuran hutan, pohon,
air, kali, sungai, gunung, bukit oleh masyarakat adat dipandang sebagai tempat
sakral.
7)
Komersialisasi ukiran-ukiran seni pahat
dan seni ukir (seperti patung ukiran Asmat dan Kamoro) sebagai simbol kebudayaan warisan leluhur
8)
Memudarnya Ilmu pengetahuan local /
tradisional.
9)
Adanya stigma terhadap Orang Papua
bodoh, rasis, (hitam, keriting), pemalas, pemabuk yang menyebabkan orang Papua
dimarjinalkan dan dialienasikan.
10)
Orang Asli Papua merasa minder
menggunakan bahasa daerahnya. Kalau diketahui sedang menggunakan, bahasa
daerahnya, Orang Papua menganggap dirinya kuno, ketinggalan, primitif,
dihadapan orang dari suku lain.
11)
Sistem dan struktur pemerintahan adat di
Papua belum di akui penuh oleh pemerintah sebagai bentuk penghargaan dan
pengakuan kearifan local.
12)
Hilangnya nilai-nilai sistem sosial dan
system budaya dalam masyarakat adat akibat dinamika politik di Papua.
13)
Perdagangan minuman keras ( miras) yang
membanjiri Tanah Papua dipandang sebagai media pemusnahan Orang Asli Papua.
14)
Masyarakat Papua belum terbiasa dengan
budaya terencana.
15)
Masyarakat pendatang belum menghormati
Orang Asli Papua sebagai tuan rumah dalam berbagai aspek kehidupan.
16)
Penjualan hak milik atas tanah adat
secara individu.
17)
Penjualan tanah adat di Papua oleh transmigrasi kepada pendatang
dari luar Papua.
18)
Adanya perbedaan konsep tentang
kepemilikan tanah dan isinya antara Negara dan masyarakat adat Papua.
19)
Adanya diskriminasi rasial seperti yang
terungkap lawat berbagai stigma terhadap orang Papua.
III.
SOLUSI
A.
PERSPEKTIF SOLUSI POLITIK.
1)
Persoalan sejarah harus di dialogkan
tanpa manipulasi dan rekayasa.
2)
Demiliterisasi dan mengkaji ulang tata
ruang militer di Papua.
3)
Penarikan Pasukan non-organik.
4)
Melibatkan semua pihak, termasuk
kelompok TPN/OPM Ketika Pemerintah hendak merumuskan dan menetapkan kebijakkan.
B. PERSPEKTIF
SOLUSI DALAM PELANGARAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA.
1)
Penerapan Undang-undang yang mengatur tentang diskriminasi
rasial dalam semua aspek.
2)
Semua regulasi harus berpihak kepada Orang Asli Papua.
3)
Membuka ruang demokrasi seluas-luasnya.
4)
Penhapusan pasal-pasal makar dalam undang-undang Pidana.
5)
Meninjau kembali aturang yang menyangkaut lambang daerah
seperti PP 77 tahun 2007.
6)
Pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi (KKR) di
Papua.
7)
Adili oknum TNI yang melanggar hukum di pengadilan umum.
8)
Perlu ada kewenangan Pro yustisia di Komnas HAM.
9)
Penghargaan terhadap hak-hak konstitusional orang Papua.
10) Reformasi
aparat keamanan.
11) Pengamana
Kepolisian perlu di atur dalam regulasi.
12) Pembentukan
Peradilan HAM di Papua.
13) Perlu ada
yuridiksi beberapa dalam konteks budaya Papua ( Polisi, Hukum, dan Jaksa Harus
Berbeda).
14) Peradilan
adat harus di laksanakan sesuai dengan budaya Papua.
15) Orang Asli
Papua menulis Sejarahnya.
16) Adanya
kepastian hukum terhadap setiap kasus pelangarah HAM dan criminal tanpa pandang
bulu.
17) Adanya
kebijakan–kebijakan Pemerintah yang sungguh Pro- rakyat.
18) Penanganan
kasus mesti mematuhi tiga hal: Tuntutan keadilan objektif, Kebenaran harus di
ungkap dan rasa keadilan bagi masyarakat.
19) Adanya
jaminan hukum terhadap kebebasan berekpresi, dan kebebasan menyampaikan
pendapat.
C. PERSPEKTIF
SOLUSI KEAMANAN.
1)
Aparat keamanan menjalankan tugasnya secara professional
dan mengormati HAM demi menjamin rasa aman bagi orang asli Papua.
2)
Pos-pos militer hanya didirikan didaerah perbatasan antara
negara, bukan ditengah pemukiman penduduk.
3)
Pengurangan pasukan
non organik TNI dan PORLI diseluruh tanah Papua.
4)
Pengembagan dan perluasan institusi militer tidak
berdasarkan pemekaran wilayah pemerintahan sipil (kampung, distrik,
kabupaten/kota dan Provinsi).
5)
Penghapusan operasi intelijen yang intimidatif dan
memberikan rasa tidak aman terhadap rakyat, terutama Orang Asli Papua.
6)
Pelangaran bagi TNI dan PORLI untuk berbisnis dan
berpolitik serta pemberian saksi hukum
yang tegas bagi pelangarannya.
7)
Pelangaran bagi aparat keamanan untuk bertugas sebagai
ajudan atau tenaga keamanan bagi pejabat sipil.
8)
Adanya regulasi tentang pembukaan rumah-rumah prostitusi.
9)
Aparat sunggu menjalankan tugasnya secara baik dan benar
yaitu perlindungan, dan memberi rasa
aman bagi masyarakat.
10) Aparat
keamanan mesti memperoleh gaji yang secukupnya.
11) Aparat
diberikan pendidikan tentang Hak Asasi Manusia.
12) Penarikan
Pasukan dari daerah pedalaman.
13) Pengurangan
pasukan non organik yang ada di Papua.
14) Perlu ada
regulasi tata ruang militer di Papua termasuk struktur keamanan di Papua.
15) Perubahan
paradikma TNI yang mencakup aturan, struktur, dan perilaku.
16) Reformasi
ditingkat aparat keamanan.
17)
Human
security lebih diutamakan dari pada state security.
D. PERSPEKTIF
SOLUSI PENYELENGARA PEMERINTAHAN
1)
Fokus pada dialog Jakarta-Papua dan hentikan pembahasan
RUU otsus Plus atau UU Pemerintah Papua.
2)
Mengaktifkan komunikasi politik agar sejumlah soaldalam
pemilihan Gubernur (pilgub) pilkada dan perebutan kekuasaan dapat di atasai.
3)
Minimal 80% suara harus diberikan kepada orang Asli Papua
dalam pemilihan Legislatif di DPRP maupun DPR kota dan Kabupaten.
4)
Proteksi Orang Asli Papua diatur dalam Perdasus.
5)
Membenahi tata cara pemilihan kepala daerah ( sistim noken
dsb).
6)
Orang Papua harus bersatu untuk membangun Papua.
7)
Hentikan Pemekaran Pada tingkat Provinsi dan Kabupaten.
8)
Membuat dan menjalankan perdasi untuk mengatur
keberpihakan pada orang asli Papua.
9)
Menempatkan masyarakat sebagai subjek pembangunan.
10) Menyusun
dan menjalankan Perdasi dan Perdasusu.
11) Pengawasan
terhadap semua sumber keuangan yang masuk di Papua.
12) Rekening
Dana otsus harus di pisakan dari rekening dana APBD Provinsi, Kabupaten dan
Kota.
13) Pengankatan
dan penempatan pejabat dalam pemerintahan mesti disesuaikan dengan
kompotensinya.
14) Provinsi
Papua melakukan sensus setiap 10 tahun sekali ( pada tahun berakhiran 5) guna
memutakhirkan data dan merancang pembangunan sesuai data yang valid.
15) Perlu
percepatan Implementasi Perdasi kependudukan
di tanah Papua.
16) Perencanaan
Pembangunan Daerah didasarkan pada data kependudukan yang valid dari badang
pusat statistic (BPS).
17) Seluruh
data sektoral disesuaikan dengan data BPS.
18) Pengunaan
Quesioner Pengendalian Penduduk ( internal dan eksternal) yang di sediakan pada tiap biro perjalanan.
19) Tiap warga
yang masuk ke Papua dari provinsi lain memiliki jaminan dari Individu atau
lembaga di tanah Papua.
20) Perlu
percepatan pembentukan Lembaga/ badan pengendalian penduduk di Provinsi Papua
dan Papua Barat.
E. PERSPEKTIF
SOLUSI EKONOMI DAN LINGKUNGAN HIDUP
1)
Konsep Pengembangan Ekonomi dan
Lingkungan Hidup
a.
Pemberdayaan dan peningkatan kafasitas
pengusaha asli Papua
b.
Mekanisme dan system ekonomi tradisional
( Integral dalam konsep).
c.
Pendekatan strategis sesuai dengan
konteks dan kondisi .
d.
Mengembangkan konsep Ekonomi berbasis
keahlian (skill).
e.
Pembinaan masyarakat adat tentang
penggunaan uang secara efisien dan terencana.
f.
Masyarakat bertanggung jawab untuk membayar pajak.
g.
Pemetaan sebaran potensi dan komoditi
ungulan pada masing-masing Wilayah di Papua.
h.
Pengembangan komoditi sesuai dengan
ekosistem dan karasteristik wilayah.
i.
Pengembangan kelembagaan Ekonomi yang
sesuai dengan karasteristik orang asli Papua.
j.
Pendekatan pilihan aktivitas berbasis komoditi, berbasis kepemilikan
sumber daya, Pertanian ke industry- jasa berbasis klaster industry.
k.
Konsep pengembangan pertambangan rakyat
dan galian C yang lebih ramah lingkungan hidup.
2)
Regulasi Terkait dengan Pengembangan
Ekonomi dan lingkungan Hidup
a.
Konsitensi dalam implementasi regulasi
yang terkait dengan ekonomi dan lingkungan.
b.
Penyusunan regulasi yang membuat konsep
ekonomi dan lingkungan yang berbasis ekonomi hijau dan kreatif (budaya).
c.
Penyusunan peraturan daerah ( Perda)
yang mengatur tentang melindungi masyarakat adat minimal sampai ditingkat
distrik ( masyarakat non-Papua samapai ditingkat kabupaten.
d.
Optimalisasi peran kelembagaan dalam
penyusunan dalam regulasi terkait dengan
ekonomi dan lingkungan hidup ( Peran Majelis Rakyat Papua dan lain-lain).
e.
Proteksi terhadap aktifitas pelaku,
sisten dan aktivitas ekonomi dan lingkungan hidup pada masyarakat adat Papua.
f.
Penyelamatan hutan Papua seluas 85%
selama 100 tahun kedepan (visi pembangunan Papua)
g.
Rancangan tata ruang wilayah (RTRW) yang
mengakomodir ruang hidup pemilik hak ulayat.
h.
Pengembangan alternatif pengelolaan
hutan berbasis masyarakat adat (
CommunityForestry)
i.
Keterlibatan Masyarakat adat dalam
pemeliharaan dan perlindungan hutang Papua.
j.
Regulasi yang mengatur tentang sitem
pengalian kepemilikan tanah.
k.
Sosialisasi regulasi yang terkait dengan
kegiatan pengembangan investasi di sekitar masyarakat adat.
l.
Adanya Regulasi yang mengatur tentang
pemetaan Potensi dan pengembangan lembaga yang terkait dengan tataniaga komoditi unggulan.
m.
Melindunggi dan merehabilitasi hutang
dan lahan sebagai sumber kehidupan masyarakat.
n.
Regulasi tentang tataniaga- tata jasa
terkait dengan komoditas unggulan.
o.
Regulasi tentang diverssifikasi pangan
local bagi masyarakat.
p.
Peraturan daerah : Perdagangan ketahanan
Pangan local ( sagu, umbian,dll )
q.
Proteksi terhadap produk-produk
local dan unggulan ( Hasil hutan, Ruang
orang penjualan ).
r.
Proteksi terhadap Pasar-Pasar
tradisional Orang Asli Papua ( tempat interaksi sosial
3)
Kelembagaan Koordinasi dalam
pengembangan Berbagai masalah ekonomi dan lingkungan.
4)
Kepemilikan Lahan dan sumber daya alam
dalam pemanfaatan ekonomi dan lingkungan hidup.
5)
Kemitraan dalam pengembangan Ekonomi dan
lingkungan lintas
IV.PERANG/AKTOR
1.
Perangkat
Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Kabupaten/Kota
2.
TNI/PORLI
3.
DPR
Provinasi Papua dan DPRD Kabupaten/Kota
4.
Seluruh
Kepala suku Se-Tanah Papua
5.
Perwakilan
Suara Perempuan di Seluruh Pelosok Tanah Papua
6.
Perwakilan
Tokoh Agama Seluruh Tanah Papua
7.
Perwakilan
Lembaga Swadaya Masyarakat Orang Asli Papua
8.
Para
pekerja Media Massa dan Media Elektronik (Wartawan)PAPUA INDONESIA DAN DI TINGKAT DUNIA.
VI.KONDISI UNDANG-UNDANG OTONOMI KHUSUS NOMOR 21 TAHUN 2001 TENTANG OTONOMI KHUSUS
BAGI PROVINSI PAPUA DAN PAPUA BARAT
A.
UU Otsus Sebagai Sarana Perlindungan
Hak‐Hak Orang Asli Papua
Keputusan politik penyatuan Papua menjadi bagian dari
Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) pada hakikatnya mengandung
cita‐cita luhur. Namun kenyataan di masa pemerintahan Orde Baru, berbagai
kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang sentralistik
belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan
tercapainya kesejahteraan rakyat di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua.
Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya kesenjangan pada hampir semua sektor
kehidupan, terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, kebudayaan dan
sosial politik. Upaya penyelesaian masalah tersebut selama ini dinilai kurang
menyentuh akar masalah dan aspirasi masyarakat Papua, sehingga memicu berbagai
bentuk kekecewaan dan ketidakpuasan. Pada era reformasi tahun 1999, setelah
berakhirnya masa pemerintahan Orde Baru terbukalah kran kebebasan menyampaikan
pendapat. Setelah terkekang selama lebih dari 3 (tiga) dasa warsa di bawah
pemerintahan yang sentralistis, rakyat di seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) menyampaikan berbagai ekspresi keinginan dan
tuntutannya masing‐masing, tidak terkecuali rakyat di Provinsi Papua (sebelumnya
bernama Provinsi Irian Jaya) sebagai provinsi paling timur Indonesia yang
memiliki karakteristik sosio‐kultural sangat beragam. 3 Pasal 1 huruf i UU Otsus
menyebutkan bahwa Peraturan Daerah Khusus, yang selanjutnya disebut Perdasus,
adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan pasal-pasal
tertentu dalam UU Otsus, serta Pasal 29 ayat (1) UU Otsus menyebutkan bahwa
Perdasus dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama Gubernur dengan
pertimbangan dan persetujuan MRP. Provinsi Papua merupakan bagian dari
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang memiliki keragaman suku dan
lebih dari 250 (dua ratus lima puluh) bahasa daerah serta dihuni juga oleh
suku-suku lain di Indonesia. Provinsi Papua pada saat ini
Dalam momentum tersebut, masyarakat di Papua menyampaikan
keinginan
merdeka keluar dari NKRI. Selanjutnya, sebagai respon atas
tuntutan perbaikan berbagai masalah serius akibat kebijakan pembangunan yang
sentralistis, serta meluasnya tuntutan politik dari masyarakat di Papua untuk
merdeka keluar dari (NKRI), pemerintah memberlakukan UU Otsus sebagai kebijakan
nasional yang diakomodasi dari tuntutan masyarakat tersebut, bermaksud untuk memperbaiki
berbagai hal dalam implementasi kebijakan pembangunan selama lebih dari 3
(tiga) dasawarsa di Provinsi Papua yang melahirkan berbagai implikasi negative
atas masalah eksploitasi sumber daya alam yang mengabaikan hak masyarakat
lokal, dan sistem penyelenggaraan pemerintahan yang sentralistis. UU Otsus
Papua pada hakekatnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi Provinsi
dan Rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan dimakasud member kesempatan dan
tanggung jawab yang lebih besar kepada pemerintah dan masyarakat di provinsi
Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan
alam untuk sebesar‐besarnya bagi kemakmuran rakyat. Kewenangan untuk
memberdayakan potensi sosial‐ekonomi masyarakat lokal agar memegang peran aktif
dan inisiatif merumuskan kebijakan daerah, menentukan strategi pembangunan
dengan menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat, melestarikan
budaya serta lingkungan alam Papua.
terdiri atas 24 (dua puluh 24) Kabupaten dan 2 (dua) Kota.
Provinsi Papua memiliki luas kurang lebih 421.981 km2 dengan topografi yang
bervariasi, mulai dari dataran rendah yang berawa sampai dengan pegunungan yang
puncaknya diselimuti salju. Wilayah Provinsi Papua berbatasan di sebelah utara
dengan Samudera Pasifik, di sebelah selatan dengan Provinsi Maluku dan Laut
Arafura, di sebelah barat dengan Provinsi Maluku dan Maluku Utara, dan di
sebelah timur dengan Negara Papua New Guinea. Bagian penjelasan UU Otsus dinyatakan
antara lain bahwa : “ ... momentum reformasi di Indonesia memberi peluang bagi
timbulnya pemikiran dan kesadaran baru untuk menyelesaikan berbagai
permasalahan besar bangsa Indonesia dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara
yang lebih baik. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia menetapkan
perlunya pemberian status Otonomi Khusus kepada Provinsi Irian Jaya sebagaimana
diamanatkan dalam Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar
Haluan Negara Tahun 1999-2004 Bab IV huruf (g) angka 2. Dalam Ketetapan MPR RI
Nomor IV/MPR /2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi
Daerah, yang antara lain menekankan tentang pentingnya segera merealisasikan
Otonomi Khusus tersebut melalui
penetapan suatu undang-undang otonomi khusus bagi Provinsi
Irian Jaya dengan memperhatikan aspirasi masyarakat. Hal ini merupakan suatu
langkah awal yang positif dalam rangka membangun kepercayaan rakyat kepada
Pemerintah, sekaligus merupakan langkah strategis untuk meletakkan kerangka
dasar yang kukuh bagi berbagai upaya yang perlu dilakukan demi tuntasnya
penyelesaian masalah-masalah di Provinsi Papua.
Tujuan UU Otsus Papua adalah untuk mewujudkan keadilan,
penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap HAM, percepatan pembangunan
ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua, dadalam
rangka kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan provinsi lain di Indonesia.
Tujuan tersebut dapat diwujudkan, jika dipenuhinya syarat sebagaimana diuraikan
dalam bagian penjelasan UU Otsus, sebagai berikut :
a) Partisipasi rakyat dalam perencanaan,
pelaksanaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan serta pelaksanaan
pembangunan melalui keikutsertaan para wakil adat, agama, dan kaum perempuan;
b) Pelaksanaan pembangunan yang diarahkan
sebesar‐besarnya untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk, terutama penduduk
asli Papua dengan berpegang teguh pada prinsip‐prinsip pelestarian lingkungan,
pembangunan berkelanjutan,berkeadilan dan bermanfaat langsung bagi masyarakat;
dan
c) Penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan yang dilakukan secara transparan dan bertanggung jawab kepada
masyarakat (Menjawab keinginan bagian pada tulisan ini, DPR Papua melakukan
lobi kepada Pemerintah Pusat, agar proses demokratisasi terutama pelaksanaan
PILGUB dan WAGUB dilakukan oleh DPRP agar Gubernur dapat menyampaikan LPJ dan
bukan LKPJ sesuai pasal 7 dan 18 Undang‐udang Nomor 21.
UU Otsus yang terdiri dari 24 Bab dan 79 Pasal diundangkan
pada tanggal 21 November 2001, memiliki beberapa kekhususan yang membedakannya
dengan Undang-undang lainnya, yaitu:
a) Adanya kewenangan khusus dalam
penyelenggaraan pemerintahan di provinsi maupun di kabupaten/kota yang
penjabarannya harus dengan Perdasus atau Perdasi sebagai instrumen pengaturan
kewenangan khusus.
b) Adanya Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai lembaga representasi kultural orang
asli papua dengan wewenang tertentu. Disamping Gubernur dan DPR Papua, dalam Pasal
4 UU Otsus yang antara lain menyatakan bahwa selain kewenangan Provinsi
Papua mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan
bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama, dan
peradilan serta kewenangan tertentu di bidang lain yang ditetapkan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus,
Provinsi Papua diberi kewenangan khusus berdasar UU Otsus yang diatur lebih
lanjut dengan Perdasus atau Perdasi. Pasal 20 UU Otsus MRP bertugas dan
berwewenang sebagai berikut : a. pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal
calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang diusulkan oleh DPRP; b. pertimbangan dan
persetujuan terhadap Rancangan Perdasus yang diajukan DPRP bersama-sama dengan
Gubernur; c. saran, pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana perjanjian
kerjasama yang dibuat oleh Pemerintah maupun Pemerintah Provinsi dengan pihak
ketiga yang berlaku di Provinsi Papua yang menyangkut perlindungan hak-hak
orang asli Papua; d. menyalurkan aspirasi, pengaduan masyarakat adat, umat
beragama, kaum perempuan yang menyangkut hak-hak orang penyelenggaraan
pemerintahan di provinsi terdapat MRP sebagai representasi cultural orang asli
Papua dengan kewewenangan tertentu dalam rangka perlindungan hak‐hak orang asli
Papua.
c) Adanya peraturan perundang‐undangan
daerah provinsi, yang terdiri dari peraturan daerah khusus (Perdasus) dan
peraturan daerah provinsi (Perdasi).
d) Adanya dana Otonomi Khusus sebesar 2 %
dari Dana Alokasi Umum Nasional untuk pendidikan dan kesehatan dan
dimungkinkannya pengajuan usulan pengadaan dana untuk pembangunan infrastruktur
fisik di Papua.
e) Adanya syarat bagi calon Gubernur dan
Wakil Gubernur harus orang asli Papua.
f) Adanya jumlah anggota DPR Papua 1¼ (satu seperempat) kali dari jumlah
Anggota DPRD Provinsi lain di Indonesia. Jika menggunakan Undang‐Undang Pemilu,
jumlah anggota DPR Papua sebanyak 45 orang, akan tetapi dengan menggunakan UU
Otsus Pasal 6 ayat (4) jumlah anggota DPR Papua bertambah menjadi 56 orang.
Asli Papua, serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya; dan e pertimbangan kepada DPRP, Gubernur, DPRD
Kabupaten serta Bupati mengenai perlindungan hak-hak orang asli Papua.
Pasal 29 UU Otsus yang menyatakan bahwa :
a) Perdasus dibuat dan ditetapkan oleh DPRP
bersama-sama Gubernur dengan pertimbangan dan persetujuan MRP,
b) Perdasi dibuat dan ditetapkan oleh DPRP
bersama-sama Gubernur.
c) Tata cara pemberian pertimbangan dan
persetujuan MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasi. Pasal
34 UU Otsus, ayat (3) huruf e yang menyatakan bahwa penerimaan khusus dalam
rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya setara dengan 2% dari plafon
Dana Alokasi Umum Nasional, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan
dan kesehatan; dan huruf f. Menyatakan bahwa : Dana tambahan dalam rangka
pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya ditetapkan antara Pemerintah dengan
DPR berdasarkan usulan Provinsi pada setiap tahun anggaran, terutama ditujukan
untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur.
Pasal 12 UU Otsus, Gubernur dan Wakil Gubernur adalah
Warga Negara Republik Indonesia dengan syarat-syarat :
a) orang asli Papua;
b) beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa;
c) berpendidikan sekurang-kurangnya sarjana
atau yang setara;
d) berumur sekurangkurangnya 30 tahun;
e) sehat jasmani dan rohani;
f) setia kepada Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan mengabdi rakyat Provinsi
Papua;
g) tidak pernah dihukum penjara karena
tindak pidana, kecuali karena alasan
politik; dan
h) tidak sedang dicabut hak pilihnya
berdasarkan keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, kecuali
dipenjara karena alasan-alasan politik.
Pasal 6 UU Otsus yang menyatakan bahwa :
a) Kekuasaan legislatif Provinsi Papua
dilaksanakan oleh DPRP.
b) DPRP terdiri atas anggota yang dipilih
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
c) Pemilihan, penetapan dan pelantikan
anggota DPRP dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
d) Jumlah anggota DPRP
e) Adanya prioritas ketenagakerjaan dan
kepegawaian kepada orang asli Papua
f) Adanya perlindungan Hak‐Hak Masyarakat
Adat dan Pengakuan Peradilan Adat
g) Adanya Perdasus pengawasan sosial
terhadap kegiatan pembangunan di Papua dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan yang baik, bersih, berwibawa, transparan, dan bertanggung jawab.
C. Nilai
Dasar Dalam Mewujudkan Perlindungan Hak‐hak Orang Asli Papua.
UU Otsus sebagai sarana perlindungan hak masyarakat asli
Papua, dilaksanakan dengan berpedoman pada sejumlah nilai‐nilai dasar yang
bersumber dari adat istiadat masyarakat Papua, prinsip‐prinsip kemanusiaan
universal, penghormatan demokrasi, dan hak‐hak azasi manusia. Nilai dasar yang
sekaligus berfungsi sebagai pedoman dasar bagi pelaksanaan Otonomi Khusus
meliputi: perlindungan terhadap hak‐hak dasar penduduk asli Papua; demokrasi
dan kedewasaan berdemokrasi; penghargaan terhadap etika dan moral; penghormatan
terhadap hak‐hak azasi manusia; supremasi hukum; penghargaan terhadap
pluralisme; dan persamaan kedudukan, hak dan kewajiban sebagai warga negara.
Secara ringkas, makna dari nilai‐nilai dasar tersebut dapat diuraikan, sebagai
berikut :
1. Perlindungan terhadap Hak‐hak Dasar
Penduduk Asli Papua.
Penduduk asli Papua memiliki identitas dan jati diri yang
khas di dalam kebhinekaanpenduduk dan kebudayaan Indonesia. Identitas jati diri
tersebut harus diposisikansebagai bagian dari keragaman manusia yang mendiami
bumi ciptaan Tuhan Yangadalah 1¼ (satu seperempat) kali dari jumlah anggota DPRD Provinsi Papua
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 62 UU Otsus ayat (2) yang menyatakan bahwa orang asli Papua
berhak memperoleh kesempatan dan diutamakan untuk mendapatkan pekerjaan di
wilayah Provinsi Papua berdasarkan pendidikan dan keahliannya yang diatur
dengan Perdasi.
Pasal 43 UU Otsus yang menyatakan bahwa Pemerintah
Provinsi Papua wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan
mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan
peraturan hukum yang berlaku.
Pasal 67 UU Otsus yang menyatakan bahwa :
1) Dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan yang baik,bersih, berwibawa,transparan,dan bertanggung jawab,
dilakukan pengawasan hukum, pengawasan politik, dan pengawasan sosial.
2) Pelaksanaan pengawasan sosial
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan Perdasus.
Maha Esa dan karena itu harus
dilindungi. Perlindungan terhadap hak‐hak dasar penduduk asli Papua dimaksudkan
untuk memungkinkan masyarakat Papua dapat mengembangkan kemampuan diri yang
dikaruniakan Tuhan kepadanya secara baik dan bermartabat. Tujuannya adalah agar
masyarakat Papua mampu menjadi warga negara Indonesia dan anggota masyarakat
dunia yang sejajar dengan bangsa‐bangsa maju, tanpa/tidak meninggalkan
identitas dan jati dirinya. Pada saat yang sama, perlindungan hak dasar tidak
dapat dipisahkan dari pelaksanaan kewajiban yang melekat pada masyarakat asli
Papua dan seluruh penduduk Papua.
Perlindungan hak dasar orang asli Papua
mencakup:
a. Perlindungan hak hidup masyarakat Papua
di Tanah Papua. Suatu kehidupan yang bebas dari rasa takut serta terpenuhi
seluruh kebutuhan jasmani dan rohaninya secara baik dan proporsional;
b. Perlindungan hak‐hak masyarakat Papua
atas tanah dan air, termasuk sumberdaya
alam yang terkandung di dalamnya;
c.Perlindungan hak‐hak masyarakat Papua
untuk berkumpul dan mengeluarkan
pendapat dan aspirasinya;
d. Perlindungan hak‐hak masyarakat Papua
untuk terlibat secara nyata dalam kelembagaan politik dan pemerintahan melalui penerapan
kehidupan berdemokrasi yang sehat;
e. Perlindungan kebebasan masyarakat
Papua untuk memilih dan menjalankan ajaran agama yang tersebutnya, tanpa ada
penekanan; dan
f. Perlindungan
kebudayaan dan adat‐istiadat masyarakat Papua.
Pelakasanaan perindungan hak dasar
tersebut, harus dilakukan berdasarkan kenyataan bahwa tingkat perkembangan
kebudayaan di berbagai suku di tanah Papua tidaklah sama.
Ada suku‐suku yang sebagian besar
penduduknya telah relatif lebih maju, tetapi terdapat lebih banyak suku yang
hingga kini masih hidup terbelakang. Dengan demikian, pemihakan harus
diterapkan secara bijaksana agar kemajuan yang diharapkan oleh seluruh
masyarakat Papua dapat secara bertahap dinikmati secara bersama‐sama dan
merata.
2. Kedewasaan Berdemokrasi
Bermusyawarah untuk mencapai kata
sepakat dalam memutuskan suatu
permasalahan merupakan bagian dari
kehidupan masyarakat Papua sejak dahulu.
Sistem kepemimpinan di hampir semua suku
Papua adalah kepemimpinan kolektif.
Hal tersebut menunjukkan bahwa: Pertama,
perlunya dicapai konsensus yang memberikan manfaat bagi semua pihak, serta,
Kedua, kesempatan untuk mencapai posisi pemimpin terbuka bagi setiap
anggota masyarakat, sepanjang memenuhi persyaratan, terutama kemampuan untuk
memberikan pengayoman kepada anggota masyarakat yang dipimpinnya.
Sebagai masyarakat dari suatu daerah
yang terus memberdayakan diri mengikuti prinsip‐prinsip penyelenggaraan
pemerintahan modern, demokrasi masyarakat Papua yang telah ada sejak dahulu
tersebut perlu terus dilestarikan dan diberdayakan. Hal tersebut merupakan
modal dasar untuk memastikan bahwa setiap keputusan penting yang menyangkut
masyarakat Papua, tidak bertentangan dengan nilai‐nilai yang dianut, dan mampu
mengembangkan harkat hidup masyarakat Papua.
Masyarakat Papua perlu terus
mengembangkan kemampuannya untuk
berdemokrasi secara dewasa, dengan
menghargai pluralisme atas dasar suku, agama, dan perbedaan‐perbedaan sosial
lainnya. Masyarakat Papua juga perlu secara optimal memanfaatkan berbagai
perangkat demokrasi yang tersedia dalam suatu negara modern, seperti partai
politik, pemilihan umum, dan lembaga‐lembaga perwakilan agar berbagai aspirasi
yang dimiliki dapat disalurkan secara baik, dan memiliki legalitas yang kuat,
demi tercapainya kehidupan berdemokrasi secara dewasa dan bertanggung jawab.
3. Penghargaan Terhadap Etika dan Moral
Etika dan moral merupakan tuntunan hidup
masyarakat Papua sejak dahulu yang telah dikembangkan oleh nenek moyang dan
merupakan bagian dari adat. Etika dan moral tersebut kemudian diperkaya oleh
ajaran‐ajaran agama dan kepercayaan yang dipeluk oleh masyarakat Papua sejak
kurang lebih 200 tahun lalu. Penghargaan etika dan moral tersebutlah yang
menjadikan tanah Papua hingga kini, tetap aman dan damai dibandingkan beberapa
daerah tertentu di Indonesia, walaupun ada pihak‐pihak yang terus menerus
menyebarluaskan kesan bahwa Papua adalah daerah yang rawan keamanan. Hubungan
sosial yang erat dan saling menghormati antar sesama warga tanah Papua yang
terus dipertahankan bahkan dikembangkan hingga saat ini, adalah akibat adanya
penghargaan terhadap etika dan moral yang telah ada sejak dahulu. Salah satu
konsekuensi logis dari Papua yang terbuka terhadap dunia luar, adalah masuknya
nilai‐nilai negatif yang berpotensi merusak tatanan kehidupan masyarakat Papua.
Dengan demikian, pelaksanaan pembangunan
dalam era Otonomi Khusus Papua, perlu dilakukan secara bertanggungjawab
sehingga memberikan penekanan dan penghargaan yang memadai atas etika dan
moral, melalui cara mendorong aparat
pemerintah dan seluruh masyarakat Tanah
Papua mempraktekkan ajaran agama masing‐masing dalam kehidupan sehari‐hari.
Sebab dengan cara tersebutlah seluruh masyarakat Papua dapat menikmati
kesejahteraan yang sesungguhnya baik jasmani maupun rohani.
4. Penghormatan Terhadap Hak‐Hak Asasi
Manusia.
Masyarakat Papua merasakan dengan jelas
trauma pelanggaran hak‐hak azasi manusia di masa lalu, beberpa diantaranya
masih menghantui banyak masyarakat Papua hingga saat tersebut. Oleh karena itu,
sementara masyarakat Papua terus berusaha menuntut pertanggung jawaban
pelanggaran‐pelanggaran HAM tersebut melalui jalur hukum dan politik. Pada saat
yang sama, masyarakat Papua juga bertekad untuk tidak akan melanggar HAM
masyarakat lain, serta bertekad untuk menempuh semua cara yang legal untuk memastikan
bahwa HAM masyarakat
Papua ke depan tidak akan diinjak‐injak
dan dilanggar oleh pihak‐pihak manapun. Pelaksanaan pembangunan melalui Otonomi
Khusus di Tanah Papua harus dapat dilakukan dengan mengubah semua
praktek‐praktek pembangunan di masa lalu, yang dilakukan oleh pemerintah maupun
pihak lain yang melanggar HAM
masyarakat Papua. Penggunaan kekuatan
keamanan dan militer yang berlebihan, dan melanggar HAM di waktu lalu, yang
mengakibatkan banyak masyarakat Papua hidup dalam rasa takut, harus dihilangkan
di dalam era Otonomi Khusus tersebut. Terkait dengan masalah tersebut adalah
pentingnya terus membuka pintu bagi pelaksanaan dialog‐dialog yang bertujuan
untuk meluruskan sejarah politik Papua di masa lalu. Pelurusan sejarah tersebut
perlu dilakukan dalam rangka mencari
kebenaran yang hakiki yang hingga
sekarang terus dipertanyakan oleh banyak pihak di Tanah Papua. Pelaksanaan
Otonomi Khusus harus mampu mewadahi proses tersebut secara damai dan
bermartabat dan sekaligus membangun kerangka dasar penyelesaian tuntas
masalah‐masalah yang terkait dengan pelurusan sejarah tersebut.
5. Penegakan Supremasi Hukum
Sebagai bagian dari masyarakat dunia
yang dihormati dan disegani, supremasi hukum harus ditegakkan secara benar dan
adil serta mewarnai penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Papua
sehari‐hari. Masyarakat Papua perlu mematuhi hukum, sepanjang hukum itu memang
berpihak kepada kepentingan masyarakat banyak, diwadahi dalam suatu sistem yang
professional, adil dan bebas dari intervensi pihak mana pun, dan para
penegaknya dapat menjadi suri teladan bagi masyarakat. Keadaan tersebut
merupakan salah satu modal penting dalam rangka mencapai kesejahteraaan
masyarakat di Tanah Papua. Di dalam Otonomi Khusus Papua supremasi hukum harus
dapat ditegakkan dan
terlihat secara nyata dalam
penyelenggaraan pemerintahan, proses peradilan dan
penegakan HAM.
6. Penghargaan Terhadap Pluralisme
Sebagai suatu kesatuan kebudayaan
Melanesia, penduduk asli Papua pada dasarnya terbagi ke dalam lebih dari 250
suku yang memiliki kekhususan‐kekhususan tertentu. Selain itu, keragaman
penduduk Papua juga diperkaya oleh berbagai etnis bukan Melanesia yang telah
lama menjadi penduduk di tanah tersebut, ada yang bahkan telah berada di Papua
lebih dari tiga generasi. Oleh karena itu, penghargaan terhadap pluralisme yang
telah dianut sejak dahulu harus terus dapat dipelihara dan dimantapkan di tanah
Papua dalam era Otonomi Khusus. Penghargaan terhadap pluralisme yang dimaksud
harus diwarnai dengan keberpihakan secara tegas terhadap mereka yang paling
menderita, paling tertinggal, dan berada pada hierarki paling bawah dalam hal
akses terhadap berbagai fasilitas kesejahteraan sosial, ekonomi dan budaya.
7. Persamaan Kedudukan, Hak dan
Kewajiban Warga Negara
Penegakan supremasi hukum berarti
perlunya lebih disebarluaskan pemahaman di seluruh lapisan masyarakat Papua,
termasuk di kalangan aparat pemerintah dan keamanan, tentang persamaan hak dan
kedudukan sebagai warga negara. Pemahaman tersebut harus ditindaklanjuti dalam
langkah‐langkah nyata yang secara transparan menunjukkan kepada masyarakat
Papua, bahwa siapapun warga Papua, memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti
semua warga tanah Papua yang lain. Pengakuan terhadap kesamaan hak dan
kewajiban sebagai warga negara perlu dilaksanakan secara bijaksana dengan
memperhatikan kondisi obyektif sebagian besar penduduk asli Papua yang kondisi
sosial ekonomi dan politiknya memerlukan perlindungan‐perlindungan tertentu.
Dengan perkataan lain, perlindungan yang diberikan harus mampu mengembangkan
kemampuan diri masyarakat Papua, untuk dalam kurun waktu tertentu dapat
terlayani hak‐hak dan memenuhi kewajibankewajibannya sama seperti semua warga
negara yang lain.
D. Bentuk‐bentuk Perlindungan Hak‐hak
Orang Asli Papua.
Perlindungan Hak‐hak Orang Asli Papua
perlu dilakukan untuk mencegah
dilanggarnya hak‐hak adat penduduk asli.
Ada tiga hal pokok yang terkait dengan hal tersebut, yaitu:
(1) dilanggarnya hak‐hak adat penduduk
asli dalam kaitannya dengan eksploitasi
sumberdaya alam;
(2) diabaikannya hak‐hak adat penduduk
asli dalam kaitannya dengan representasi penduduk asli Papua dalam badan‐badan
perwakilan masyarakat; dan
(3) diabaikannya, atau kurang
diperhatikannya, keputusan‐keputusan yang diambil oleh peradilan adat oleh
badan‐badan yudikatif negara. Keadaan tersebut merupakan salah satu faktor
utama penyebab timbulnya berbagai. ketimpangan social dan bahkan perlawanan
sosial yang ditunjukkan oleh masyarakat Papua yang tidak jarang dihadapi dengan
kekerasan‐bersenjata
oleh aparat negara.
1. Perlindungan Hak‐Hak Adat
Penduduk Asli Atas Sumberdaya Alam.
Di dalam Otonomi Khusus Papua, hak‐hak
adat penduduk asli harus ditempatkan pada posisi yang wajar dan terhormat.
Hak‐hak adat itu mencakup hak milik
permasyarakatan dan hak milik bersama
(hak ulayat) atas tanah, air atau laut pada batas‐batas tertentu, serta hutan,
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Selain itu, hak‐hak adat
mencakup pula hak‐hak cipta masyarakat adat dalam bidang kesenian yang terdiri
dari seni suara, tari, ukir, pahat, anyam, tata busana, dan rancangan bangunan
tradisional serta cabang‐cabang kesenian lainnya, maupun hakhak yang terkait
dengan sistem pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan oleh masyarakat
adat/asli Papua, misalnya obat‐obatan tradisional dan yang sejenisnya. Sebagai
“the first people" di Papua, maka adalah sangat wajar dan tepat apabila
hakhak penduduk asli atas wilayah adatnya masing‐masing sebagaimana yang
dikemukakan di atas dihargai oleh pihak luar, termasuk di dalamnya pemerintah
dan swasta. Pemanfaatan hak‐hak adat untuk kepentingan pemerintah dan atau
swasta haruslah dilakukan melalui musyawarah antara masyarakat adat dengan
pihak yang membutuhkan, serta harus disertai dengan pemberian ganti rugi dalam
bentuk uang tunai, tanah pengganti, pemukiman kembali, dana abadi, sebagai
pemegang saham, atau bentuk‐bentuk lain yang disepakati bersama.
2. Perlindungan Hak‐Hak Adat Penduduk Asli
Dalam Representasi Politik.
Di dalam Otonomi Khusus Papua, hak‐hak
politik masyarakat adat dan penduduk asliPapua dilindungi dengan diciptakannya
suatu kamar tertentu di dalam parlemen Propinsi Papua, disebut MRP yang hanya
diisi oleh masyarakat asli Papua yang adalah wakil‐wakil adat, wakil‐wakil
agama dan wakil‐wakil perempuan yang jumlahnya masing‐masing sepertiga dari
total jumlah anggota kamar tersebut. Dengan cara seperti tersebut dapat
dipastikan bahwa keadaan di banyak negara modern di dunia di mana
keterwakilanan penduduk asli di dalam.pengambilan keputusan politik negara
sangat lemah atau tidak ada sama sekali, tidak akan terjadi di Propinsi Papua.
Wakil adat, bersama wakil agama dan
wakil perempuan yang kesemuanya adalah masyarakat asli Papua dengan distribusi
jumlah sebesar sepertiga untuk masingmasing kelompok, dalam kamar tersebut
memiliki tugas dan kewajiban untuk melindungi hak‐hak penduduk asli Papua dalam
hal‐hal seperti berikut :
a.
Memberikan pertimbangan kepada DPRP, Kabupaten dan Kota,
serta Gubernur, Bupati dan Walikota mengenai hal‐hal terkait dengan
perlindungan terhadap hak - hak masyarakat asli Papua;
b. Memperhatikan
dan menyalurkan aspirasi, menerima pengaduan masyarakat adat dan masyarakat
pada umumnya, serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya;
c. Menolak
Peraturan Propinsi dan kebijakan lain yang bertentangan denganperlindungan
hak‐hak masyarakat asli Papua.
3. Perlindungan Hak‐Hak Penduduk Asli Dalam
Peradilan Adat.
Pada saat sekarang, peradilan adat
kurang memperoleh tempat yang layak dalam
upaya penegakan hukum dan pemuasan rasa
keadilan di tingkat masyarakat Papua. Padahal, sebagai suatu kesatuan hukum
yang mandiri, terutama sebelum masuknya kelembagaan modern yang disebut dengan
Negara, masing‐masing suku di tanah
Papua memiliki sistem hukumnya sendiri yang mampu menciptakan ketentraman di
lingkungan mereka masing‐masing maupun dalam membina hubungan antar suku. Dalam
kaitan itulah di dalam status Otonomi Khusus, peradilan adat di tanah Papua
merupakan suatu peradilan yang diakui kedudukannya sebagaimana pengakuan
terhadap Badan Peradilan Negara yang mencakup peradilan umum, peradilan agama,
peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Hak‐hak Asasi Manusia. Peradilan adat
memiliki kewenangan untuk memeriksa dan mengadili perkara, dan atau sengketa
menurut hukum adat dari pihak yang menjadi korban dan/atau dirugikan. Untuk
menegakkan kewibawaan peradilan adat, maka perkara atau sengketa yang telah
mendapatkan putusan peradilan adat tidak dapat diajukan untuk diadili oleh
Badan Peradilan Negara sepanjang tidak melanggar Hak Asasi Manusia.
4. Perlindungan Terhadap Property Rights
Papua merupakan suatu kawasan yang
sangat kaya dengan sumberdaya alam, atau kawasan perekonomian yang bersifat natural
resource based. Hal ini wajar saja, karena pilihan ekonomi seperti ini
adalah yang relatif paling murah dan mudah. Dengan demikian yang perlu ditambah
adalah faktor produksi lain, yaitu teknologi dan manusia (expertise). Pertambangan
adalah sumberdaya ekonomi yang perlu diolah oleh suatu perusahaan yang memiliki
tanggung jawab yang tinggi terhadap Negara dan penduduk setempat, jangan sampai
Papua mengulang kesalahan yang sama seperti yang dilakukan Indonesia dalam
skala nasional, Jadi eksploitasi sumberdaya alam Papua dalam kegiatan
pembangunan ekonomi hendaknya dipandang sebagai mata air yang airnya mengalir,
yang kemudian digunakan untuk mendorong dan memberi modal pada berbagai
kegiatan pembangunan ekonomi. Dengan begitu yang sangat penting adalah perlunya
memberikan proteksi terhadap apa yang disebut dengan property rights.
Ini adalah hak dasar yang harus dihormati supaya kegiatan ekonomi bisa
berkembang. Di mana pun di dunia, proteksi terhadap property rights ini
menjadi landasan hukum terpenting bagi kegiatan pembangunan ekonomi berbasis
sumberdaya alam. Property rights ini berhubungan dengan hak‐hak adat,
dan juga berhubungan dengan hak perusahaan. Keduanya perlu diharmonikan satu
sama lain. Hal lain yang perlu dicermati adalah bahwa walaupun Papua kaya akan
sumberdaya alam, tetap tidak ada jaminan bahwa seluruh penduduknya akan
sejahtera dan bisa memperoleh benefit yang sama. Karena itu, perlu adanya
disain aktivitas ekonomi lain yang memang bisa menciptakan income, meningkatkan
harkat hidup dan martabat masyarakat. Disain perlindungan orang asli Papua
penting artinya, karena rata‐rata tingkat pendidikan penduduk di Papua masih
sangat rendah. Karena itu, penting agar dilakukan investasi yang signifikan
bagi peningkatan mutu pendidikan penduduk, dan sector sektor penting lainnya
seperti kesehatan. Dalam
pada itu harus diingat bahwa untuk
menuai hasil investasi di bidang pendidikan dibutuhkan waktu yang tidak
singkat.
5. Reinvestasi Hasil Eksploitasi Sumberdaya
Alam
Salah satu tantangan yang dihadapi Papua
ke depan adalah mencari keseimbangan antara konservasi dan eksploitasi
sumberdaya alam. Sebab pada dasarnya keduanya memang tidak perlu
dipertentangkan, sehingga justru akan menjadi masalah krusial bagi pembangunan
yang berkelanjutan di Papua. Tetapi fakta yang ada selama ini sering
eksploitasi sumber dalam dinilai menghambat, bahkan merusak konservasi
sumberdaya alam, atau sebaliknya konservasi mengakibatkan sumberdaya alam yang
sangat bernilai ekonomis tidak dapat dimanfaatkan. Oleh karena itu, diperlukan
kebijakan politik yang jelas sebagai solusi atas masalah ini, dalam bentuk
pemaduan informasi potensi atas dan bawah tanah dalam penentuan rencana tata
ruang. Selama ini yang diperhitungkan sering terbatas pada potensipotensi yang
terdapat di atas tanah saja, sehingga terjadilah'konflik' antara pelestarian
sumberdaya hayati di dalam kawasan lindung yang terdapat di atas tanah dan
kebutuhan untuk mengeksploitasi sumberdaya tambang yang terdapat di bawah tanah
pada kawasan lindung yang sama tersebut. Pemaduan informasi potensi sebagaimana
dimaksud akan memungkinkan rakyat dan pemerintah Provinsi untuk memutuskan
secara lebih jernih bagaimana konservasi dan eksploitasi sumberdaya alam itu
perlu diatur di Papua.
Masalahnya sampai saat ini belum ada
aturan yang mengharuskan perusahaan – perusahaan yang melakukan eksploitasi
Sumberdaya Alam di Papua untuk mereinvestasi keuntungan‐keuntungan ekonomi yang
diperolehnya di Tanah Papua. Ada 2 (dua) macam reinvestasi yang dimaksud. Pertama,
reinvestasi sebagian
keuntungan tersebut untuk melakukan
riset dan eksplorasi untuk menemukan dan mengembangkan jenis‐jenis sumberdaya
alam yang dieksploitasinya tersebut. Dengan demikian, upaya untuk mengetahui
secara lebih dalam termasuk di dalamnya pengembangan alternatif dari potensi
sumberdaya alam tersebut di Papua dapat terus dilakukan. Kedua, reinvestasi
yang dimaksud adalah upaya pengembangan ekonomi kawasan di mana kegiatan
eksploitasi sumberdaya alam itu dilakukan sesudah perusahaan tersebut selesai
beroperasi. Disadari, bahwa kegiatan eksploitasi sumberdaya alam di Papua,
seperti pertambangan umum, minyak dan gas, industry kehutanan dan perikanan
laut merupakan salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi yang penting di Papua.
Seperti pertumbuhan kawasan Timika, Sorong, dan Bintuni, serta beberapa kawasan
lain. Oleh karena itu, yang harus dihindari di masa depan adalah terhenti atau
menurunnya kegiatan ekonomi di kawasan tersebut sebagai akibat dari berakhirnya
kegiatan eksploitasi sumberdaya alam dimaksud. Dalam konteks inilah,
reinvestasi yang dilakukan secara strategis, yang diarahkan untuk menumbuh
kembangkan potensi perekonomian setempat di luar eksploitasi sumberdaya alam
tersebut.
VII. Penutup
A.
Kesimpulan
Kebijakan perlindungan hak‐hak orang asli Papua yang
terdapat dalam UU Otsus perlu dijadikan legitimasi otoritas bagi Pemerintah
Provinsi, DPRP dan MRP, serta seluruh masyarakat di Papua dalam rangka
mewujudkan kemandirian menuju kemandirian mengelola sumber‐sumber alam dan
budayanya secara produktif dalam perspektif menjamin suatu pembangunan yang
berkelanjutan (sustainable development) dan masyarakat Papua yang berkelanjutan
(sustainable Papuan society). Dengan demikian, perlindungan hak-hak orang asli
Papua merupakan upaya proteksi yang selektif dan positif terhadap orang asli
Papua, sehingga tidak terjebak dalam proteksi yang memanjakan, tetapi justru
membuat penduduk asli Papua dapat berkembang maju dan berkompetisi dengan
penduduk lain.
B.
Rekomendasi
Dalam rangka memperkuat peran dan fungsi DPRP hasil
seleksi pengankatan amanat otsus DPR-PAPUA termasuk peran memberikan
perlindungan hak‐hak orang asli Papua perlu adanya para anggota DPRP yang
siap bertanggung jawab dan dipercaya
oleh rakyat di Papua. Dan apabilah saya di angkat menjadi salah satu anggota
DPR-PAPUA saya siap hidup mati Dengan Motto tujuan Bahwa ALAMKU,RAKYATKU
TUBUHKU HATIKU ; Berdasarkan mengingat pengalaman kondisi situasi tempat
disetiap wilayah adat dimanapun kita
berada di Tanah Papua, dan apabilah saya terpilih menjadi DPR PAPUA salah satu
dari 14 kursih saya berjanji bahwa antara lain:
a) Saya siap mempertahankan jati diri sebagai anak Adat Asli
Tanah Pulau Papua.Sesuai dengan visi misi yang saya lahirkan.
b)
Melahirkan Sebuah Sikap, Prinsip Dalam
Penentuan Nasip Orang Papua yang Siap Kerja Sama Dengan
Berbagai Tokoh Masyarakat Adat Meepago Dan Tanah Pulau Papua.
c)
Siap Melanjutkan Aspirasi Masyarakat
Orang Asli Papua (Oap) Dalam Penetapan Perdasi/Perdasus Bersama Gubernur.
d)
Saya Siap Bertemu Dengan Berbagai Unsur Masyarakat, Termasuk Unsur Toko Adat Dan Mayarakat,Toko Agama, Toko Perempuan, Pemuda Dan Mahasiswa, Termasuk Masyarakat Asli Papua Secara Pribadi, Yang Ingin Menyampaikan Aspirasi, Bertemu Dan Berdialog Bersama
Masyarakat Adat Dengan DPRP Dimana Saja Kita Berada.
SEBUAH CATATAN DARI SAYA :
Merubah keadaan tersebut memang bukan suatu pekerjaan
mudah. Oleh karena itu, saya ajak dengan sepenuh hati kepada seluruh TOKO
MASYARAKAT, TOKO AGAMA, DAN TOKO PEREMPUAN SERTA SELURUH PERANGKAT PENYELENGARA
PEMERINTAHAN saya merasa beban sebagai
manusia biasa maka,mari kita bergandeng tangan dalam tugas dan tanggung jawab
untuk mencapai tujuan kita bersama adalah ORANG ASLI PAPUA MENUJU MANDIRI DAN
SEJAHTERA Saya siap perlu
kerjasama semua pihak untuk mengatasi hambatan‐hambatan tersebut diatas Tanah Pulau Papua.
Demikian, beberapa pandangan saya, untuk merebut 14 kursih
DPRP Provinsi Papua dari amanat Otsus, pergub nomor 6 Tahun 2014, semoga saya
di terimah dan di angkat sebagai anggota DPRP Provinsi Papua agar bermanfaat bagi masa depan kehidupan yang
lebih baik menuju MANDIRI DAN SEJAHTERA di Tanah Pulau Papua, Terima kasih.Syaloom.
Meepago: 25 Mey 2016
Disusun Oleh
Mr.MARTINUS
UTI
0 komentar:
Posting Komentar